Kontak Pembaca
(sebuah
pendapat)
Sumber : Wikipedia
Menyikapi berbagai
pertanyaan dari masyarakat Jawa Timur terkait dengan atraksi perlombaan adu
cepat sapi, yang setiap tahun selalu dilaksanakan di Pulau Madura, yang lebih
dikenal dengan nama “KARAPAN SAPI”. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah
“apakah perlombaan Karapan Sapi termasuk jenis cabang olahraga tradisional ?”.
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, selain tidak ada buku yang menjadikan
referensi juga organisasi FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat
Indonesia) belum mengelompokan kegiatan ini dalam ruang lingkup olahraga
rekreasi. Sampai dengan saat ini, belum ada organisasi olahraga yang mewadahi
kegiatan ini, juga belum ada organisasi yang menyebutkan bahwa “Perlombaan
Karapan Sapi” merupakan jenis cabang olahraga tradisional. Artinya, belum ada
salah satu lembaga atau kelompok masyarakat yang mengkleim perlombaan yang sangat
popular di Pulau Madura ini ke dalam ruang lingkup “Olahraga Tradisional”.
Bahkan bentuk kebijakan pemerintah yang menetapkan kegiatan ini ke dalam ruang
lingkup olahraga rekreasi juga belum ada.
Bila ditinjau dari penulisan pada Wikipedia, Karapan Sapi
merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari
Pualau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang manarik
semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi
tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan sapi lainnya. Trek
pacuan tersebut sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar
sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa Kabupaten di Pulau Madura
menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun,
dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di Kabupaten
Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Pertanyaan seputar “Karapan Sapi” yang sering muncul sebagaimana
disebutkan di atas masih sulit untuk dijawab, baik oleh FORMI (Federasi
Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia) maupun masyarakat umum. Bila kita
cermati bentuk kegiatan lomba “Karapan Sapi” ini sangat mirip dengan olahraga
balap kuda (pacuan kuda). Pacuan Kuda mempunyai keserupaan adu kecepatan dalam
menentukan kemenangan. Peserta yang tercepat mencapai garis finish, akan
dinyatakan sebagai pemanang pada perlombaan ini. Begitupula dengan perlombaan
“Karapan Sapi” yang sering diselenggarakan di Pulau Madura ini merupakan adu
kecepatan dua ekor Sapi yang menjadi kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.
Perbedaan yang paling tampak dan menonjol dari perlombaan adu cepat ini adalah
cara menunggang dan jumlah binatang yang dipergunakan. Balap Kuda hanya
menggunakan satu satu ekor kuda dengan satu orang Joki yang duduk di punggung
Kuda. Sedangkan Karapan Sapi menggunakan dua ekor Sapi dengan satu orang Joki
yang berdiri di kayu antara kedua Sapi.
Mencermati kemiripan ini, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa
“Karapan Sapi” juga merupakan kegiatan “olahraga”. Karena untuk perlombaan
Balap Kuda sudah cukup lama dalam ranah pembinaan Komite Olahraga Nasional
Indonesia (KONI), bahkan pada pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) balap
kuda merupakan salah satu cabang olahraga yang diperlombakan. Oleh sebab itu, ketika
ada kemiripan pada perlombaan “Karapan Sapi” dengan perlombaan balap kuda ini,
maka kita berani mengatakan bahwa “Karapan Sapi” juga merupakan kegiatan
“Olahraga” sebagaimana “Balap Kuda/Pacuan Kuda”.
Apalagi dalam perlombaan “Karapan Sapi” juga dibutuhkan
ketrampilan dan kemampuan fisik seorang Joki untuk mengendalikan arah laju
larinya “Sapi” hingga garis finish. Tanpa ketrampilan dan kekuatan yang baik,
seorang Joki akan mengalami kesulitan mengendalikan laju lari dua ekor “Sapi”
dalam keadaan lari kencang dan hanya berdiri dalam sebuah balok kayu yang
terkait pada dua ekor sapi tersebut. Secara otomatis, peserta Karapan Sapi yang
ingin menjadi pemenang harus dikendalikan oleh seorang Joki yang memiliki
ketrampilan dan kekuatan fisik memadai.
Hal inilah yang dapat mengklasifikasikan lomba “Karapan Sapi” ini
ke dalam ruang lingkup “Olahraga”. Selain mengandung unsure keterampilan gerak,
juga membutuhkan kekuatan fisik tubuh seorang Joki. Untuk memperoleh kekuatan
fisik tentunya dibutuhkan program latihan yang sistemik, berkesinambungan dan
teratur serta memenuhi kaedah kebugaran jasmani.
Nah… sekarang yang perlu dikupas pada kegiatan “Karapan Sapi” ini
apakah juga merupakan “olahraga tradisional” sebagaimana pertanyaan masyarakat
di atas. Hal ini perlu kita tinjau lebih spesifik tentang keberadaan “Karapan
Sapi” ini melalui jejak sejarah. Karena pengertian “olahraga tradisional”
adalah merupakan kegiatan olah fisik yang mengandung nilai-nilai budaya, yang
pada hakekatnya merupakan warisan leluhur nenek moyang kita.
Wikipedia menceritakan sejarah munculnya karapan sapi, bermula
dilatar belakangi kondisi tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian,
sebagai gantinya banyak orang Madura yang berada di daerah pesisir mengalihkan
mata pencahariannya sebagai nelayan. Sedangkan lainnya, kebanyakan beternak
sapi dan sekaligus dipergunakan untuk bertani khusus dalam membajak sawah atau
ladang. Suatu ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran
Katandur), ingin memberi motivasi kepada masyarakat untuk mau kembali bertani
dengan memperkenalkan cara bercocok tanam yang mudah, yaitu dengan menggunakan
sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat Madura dengan sebutan “nanggala”
atau “segala” yang ditarik dengan dua ekor sapi. Cara bercocok tanam yang
diperkenalkan Pangeran Katandur ini, adalah untuk memudahkan para petani
menggemburkan tanah yang sangat keras. Yang selama ini menggunakan tenaga
manusia dan sebuah alat cangkul, dirubah dengan memanfaatkan tenaga dua ekor
sapi. Sedangkan alat cakulnya diganti dengan sebuah alat yang terbuat dari kayu
dengan disain khusus sebagai alat bajaknya dan diikatkan secara kuat kepada dua
ekor sapi. Sebagai pengendali kedua ekor sapi tersebut dalam menentukan
perpindahan dan perputaran arah dibutuhkan seorang petani yang berdiri di
atas kayu alat bajak. Cara bercocok tanam yang diperkenalkan Pangeran Ketandur
ini menjadikan petani bersemangat karena menjadi lebih ringan dalam mengerjakan
lahannya.
Agar petani mampu menguasai cara mengendalikan kedua ekor sapi
saat membajak sawah dan sapi-sapi yang dipergunakan menjadi lebih kuat,
Pangeran Ketandur memunculkan gagasan sebuah permainan dalam bentuk adu
ketangkasan dan kecepatan sapi dan peralatan bajaknya secara utuh. Para
pemabajak sawah harus melatih dua ekor sapinya mampu berlari cepat dan
mengalahkan pembajak lainnya. Gagasan diadakannya adu cepat sapi ini kemudian
menjadi tradisi di Pulau Madura dan diberi nama “Karapan Sapi”. Karapan Sapi
pada akhirnya menjadi kegiatan rutin setiap tahun, khususnya setelah menjelang
musim panen habis. Kegiatan lomba Karapan Sapi ini didahului dengan mengarak
pasangan-pasangan sapi dengan mengelilingi arena pacuan dan selalu diiringi
musik Seronen.
Bila dibandingkan dengan balap kuda, perlombaan Karapan Sapi terlihat
lebih sengit dan heboh. Hal ini ditinjau dari faktor kesulitan saat
mengendalikan binatang tunggangannya. Seorang joki balap kuda tidak serumit
joki karapan sapi yang harus mengendalikan sepasang sapi dengan posisi kendali
sambil berdiri di atas kayu bajak. Faktor kusulitan inilah yang menjadikan
perlombaan Karapan Sapi menjadi seru dan lebih heboh dibandingkan dengan balap
kuda.
Ditunjau dari pemahaman
kedua permasalahan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa perlombaan
“Karapan Sapi” juga merupakan “Olahraga Tradisional”, yang merupakan jenis
permainan fisik dan mengandung nilai-nilai budaya tradisional turun menurun
hingga sekarang. Acara Karapan Sapi atau Bull Race ini selalu berhasil dalam
penyelenggaraannya dan mampu menyedot perhatian masyarakat luar, baik dari
nusantara bahkan mancanegara. Acara bergengsi bagi masyarakat Madura ini adalah
dalam rangka memperebutkan Piala Bergilir Presiden (Presiden Cup), dan biasanya
diselenggarakan dipusat Kota Pamekasan. Selain menggelar adu cepat sapi, acara
ini juga menghadirkan unsur kesenian dan budaya Madura. Sehari sebelum
perlombaan karapan sapi, biasanya didahului dengan kesenian Sapi Sonok. Jika di
medan laga, si Sapi bertarung dengan tenaga untuk dapat berlari cepat, lain
halnya dengan pagelaran Sapi Sonok yang bertarung dengan mengandalkan
kecantikan dan keluwesannya berjalan di catwalk ala Sapi Sonok. Rupanya, bukan
Cuma kesenian berbau sapi saja yang digelar pada saat itu, pada malam harinya
juga digelar berbagai kesenian budaya dan adat Madura, seperti festival tarian
tradisional dari berbagai Kabupaten, fesitival makanan, dan kesenian ala Madura
lainnya. (aka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar